Tidak semua anak balita "berbakat" berani dan mandiri. Meski begitu, orang tua tidak perlu khawatir. Kemandirian dan keberanian anak bisa dilatih, kok. Tentu saja asal tahu caranya. Di tengah keramaian acara anak-anak yang diselenggarakan sebuah pusat perbelanjaan, nampak pemandangan yang sangat kontras. Ada sebagian anak balita dengan "semangat 45" mengajukan diri untuk tampil. Namun sebagian lainnya malah bersembunyi di balik punggung orang tuanya. Mengapa ada anak balita yang berani dan ada juga yang tidak?
Seorang bocah laki-laki yang belum genap berusia 3 tahun, sebut saja Reno namanya, mungkin bisa dijadikan contoh mengenai kemandirian seorang anak. Di usianya yang masih balita, ia sudah bisa buang air kecil sendiri. Tanpa rewel, ia langsung bisa duduk manis di atas kloset. Padahal di saat yang sama masih begitu banyak anak balita yang tidak saja masih ngompol di sembarang tempat. Bahkan saat diganti celananya yang basah pun ia masih saja menangis. Tidak sedikit orang tua yang lantas bertanya-tanya adakah cara jitu melatih kemandirian anaknya supaya bisa seperti Reno?
Intinya, jelas Jacinta F. Rini, Msi., dari Hermawan Consulting, keberanian dan kemandirian itu saling berkorelasi. "Anak yang mandiri biasanya berani walaupun tidak semua anak yang berani itu mandiri."
Berani dari Sononya?
Diakuinya, faktor genetik memang pegang peran 20% dalam kehidupan manusia. "Sisanya adalah pengaruh lingkungan," ungkap psikolog lulusan UGM yang akrab disapa Rini ini. Jadi, memang ada juga satu-dua anak yang dari sononya sudah berani dan mandiri. Namun, anak-anak yang orang tuanya sangat eksploratif, berani dan mandiri, besar kemungkinan akan diikuti anaknya. Apalagi bila lingkungannya mendukung, di mana setiap hari anak menyaksikan perilaku orang tua yang bisa dicontoh.
Menurut Rini, banyak hal yang bisa didapat anak bila orang tua melatihnya berani dan mandiri, di antaranya:
Mendapatkan life skill
Keberanian dan kemandirian merupakan sebagian dari life skill yang harus dipunyai anak. Dengan melatihnya sedari kecil, manfaatnya akan lebih dirasakan anak dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Belajar mengantisipasi
Anak yang terlatih untuk berani dan mandiri, akan lebih berkembang kemampuan antisipasinya. Ia lebih mampu memahami apa itu aksi-reaksi dan aksi-konsekuensi. Kalau ia melakukan sesuatu, maka akibatnya seperti apa sudah bisa ia prediksikan dengan pikiran sederhananya.Seorang bocah laki-laki yang belum genap berusia 3 tahun, sebut saja Reno namanya, mungkin bisa dijadikan contoh mengenai kemandirian seorang anak. Di usianya yang masih balita, ia sudah bisa buang air kecil sendiri. Tanpa rewel, ia langsung bisa duduk manis di atas kloset. Padahal di saat yang sama masih begitu banyak anak balita yang tidak saja masih ngompol di sembarang tempat. Bahkan saat diganti celananya yang basah pun ia masih saja menangis. Tidak sedikit orang tua yang lantas bertanya-tanya adakah cara jitu melatih kemandirian anaknya supaya bisa seperti Reno?
Intinya, jelas Jacinta F. Rini, Msi., dari Hermawan Consulting, keberanian dan kemandirian itu saling berkorelasi. "Anak yang mandiri biasanya berani walaupun tidak semua anak yang berani itu mandiri."
Berani dari Sononya?
Diakuinya, faktor genetik memang pegang peran 20% dalam kehidupan manusia. "Sisanya adalah pengaruh lingkungan," ungkap psikolog lulusan UGM yang akrab disapa Rini ini. Jadi, memang ada juga satu-dua anak yang dari sononya sudah berani dan mandiri. Namun, anak-anak yang orang tuanya sangat eksploratif, berani dan mandiri, besar kemungkinan akan diikuti anaknya. Apalagi bila lingkungannya mendukung, di mana setiap hari anak menyaksikan perilaku orang tua yang bisa dicontoh.
Menurut Rini, banyak hal yang bisa didapat anak bila orang tua melatihnya berani dan mandiri, di antaranya:
Mendapatkan life skill
Keberanian dan kemandirian merupakan sebagian dari life skill yang harus dipunyai anak. Dengan melatihnya sedari kecil, manfaatnya akan lebih dirasakan anak dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Belajar mengantisipasi
Menumbuhkan pikiran kritis
Lebih bertanggung jawab
Keuntungan lainnya, anak biasanya jadi lebih bertanggung jawab. Misalnya anak yang terlatih membawa piring bekas makannya sendiri ke dapur. Hal sederhana ini akan melatih kemandiriannya yang secara tidak langsung akan mengajari anak untuk bertanggung jawab. Setidaknya ia akan belajar bagaimana harus membawa piring ke dapur tanpa pecah.
Melatih daya tahan mental
Sejak lahir anak sudah dibekali dengan insting bereksplorasi. Sayangnya, sebagian orang tua justru "memagarinya". Padahal bila orang tua membiarkan anak bereksplorasi, selain jadi mandiri dan berani, daya tahan mentalnya pun lebih teruji.
Kiat Melatih Keberanian dan Kemandirian
Secara garis besar, latihan keberanian dan kemandirian bisa berjalan secara simultan. Langkah yang sama diharapkan bisa menghasilkan 2 hal positif itu sekaligus. Namun orang tua sebaiknya menyadari tidak ada sesuatu yang serba instan karena semuanya butuh proses. Apa saja yang harus dilakukan? Berikut di antaranya:
1. Tumbuhkan basic trust
Basic trust sebenarnya sudah terbentuk sejak bayi. Namun setelah balita pun, orang tua sebaiknya memberikan respons positif terhadap kebutuhan anak. Dengan begitu anak akan merasa secure/aman dalam kehidupannya. Anak yang merasa aman, pada gilirannya lebih berani mengadapi tantangan yang ada di depannya. Ia pun sekaligus lebih bisa mandiri dalam menyelesaikan persoalan.
2. Beri contoh konkret
Orang tua yang cenderung mempunyai kepribadian tertutup, enggan melakukan sesuatu yang serbabaru, ciut menghadapi tantangan, sebaiknya tidak mengharapkan anak balitanya tumbuh menjadi pribadi yang berani dan mandiri. Contoh yang paling gampang adalah orang tua yang ingin mengajari anaknya berenang, namun ia sendiri takut masuk air. Kalau begini mana mungkin hasilnya bisa maksimal? Ingat, anak butuh contoh lewat perbuatan nyata bagaimana seharusnya bersikap berani dan mandiri. Dengan demikian anak punya gambaran hingga lebih mudah menirunya. Bagi orang tua yang merasa tidak bisa memberikan contoh konkret pada balitanya, tentu saja tak perlu berkecil hati. Ada langkah-langkah yang bisa dilakukan, yaitu dengan tidak mentransfer "ketakutan" dan "ketidakmandirian"nya pada anak secara langsung di depan anak. Kalaupun itu muncul, mintalah orang lain dalam keluarga untuk mengingatkan Anda.
3. Tetapkan batasan secara tepat
Larangan yang diberikan pada anak haruslah disertai alasan yang logis. Saat anak mengasah keberaniannya dengan bermain di luar pagar rumah, sebaiknya orang tua tidak menakut-nakuti dengan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Semisal dengan mengatakan si anak akan digigit anjing, digoda hantu dan sebagainya. Ingat, pola pikir anak usia ini masih sangat konkret. Ketakutan yang sebenarnya tidak perlu itu akan ditangkap otaknya sebagai suatu kenyataan yang benar adanya. Akhirnya, anak jadi tidak berani keluar pagar sama sekali. Ini jelas menghambat pembentukan sikap berani dan mandiri dalam diri anak.
4. Beri kepercayaan pada anak
Berikan kepercayaan pada anak bila dirasa sudah sanggup melakukannya. Kalau anak ingin menaruh sendiri piring makannya sendiri di tempat cucian piring, jangan langsung melecehkannya. Berilah ia kepercayaan dan kesempatan untuk mencoba. Jangan kelewat khawatir si balita akan memecahkan piring tersebut hanya karena harganya mahal. Kepercayaan yang diperoleh anak akan membuat keberanian dan kemandiriannya kian teruji.
5. Jangan beri stimulus terlalu banyak
Ingat, tahapan yang dilalui anak berkembang setingkat demi setingkat. Untuk itulah perlunya pengertian dari lingkungan, terutama orang tua, bahwa stimulus yang diberikan pun hendaknya disesuaikan dengan perkembangan anak. Too much too soon stimulations, pada akhirnya hanya akan membuat anak bingung dan kehilangan keberaniannya melakukan sesuatu. Anak akan berpikir daripada melakukan semua hal yang diminta orang tua dan akhirnya salah karena terlalu banyak komando tapi kemudian dimarahi, lebih baik tidak usah melakukannya sama sekali. Sayang sekali, kan? Begitu juga dengan contoh sepihak yang ditangkap anak tanpa diluruskan oleh lingkungan. Misalnya anak mendapatkan pengetahuan tentang suatu hal dari televisi. Bisa jadi itu hanya film yang sudah pasti tidak sama dengan realitas. Namun karena anak tidak segera mendapatkan pemahaman yang sesungguhnya, maka dianggapnya hal itu sebagai sesuatu yang nyata. Apalagi di usia ini anak belum bisa membedakan mana kejadian nyata dan mana yang dikemas/direkayasa sebagai sebuah tontonan. Tayangan kekerasan, contohnya, bisa saja dipersepsikan bahwa dunia ini tidak aman seperti yang ia saksikan. Akibatnya, bukan tak mungkin akan menghambat perkembangan keberanian anak.
6. Jangan dipaksa
Keberanian dan kemandirian anak mungkin saja berkembang secara perlahan. Jadi, jangan paksa anak untuk segera menguasai semua hal yang diajarkan saat itu juga. Orang tua yang ingin melatih kemandirian anaknya dengan ritual bangun tidur langsung mandi, tanpa perlu "kejar-kejaran" dulu, contohnya. Sebaiknya jangan paksa anak untuk menguasainya dengan sekali mengajarkan lantas di hari-hari selanjutnya segalanya sudah berjalan lancar. Dampingi dan selalu ingatkan anak bagaimana melakukan hal tersebut dengan benar. Kelewat sering melontarkan kritik karena kegagalannya hanya akan membuat nyalinya ciut alias down. Contohnya, "Gimana sih, gitu aja enggak berani!" Atau, "Adek, kok enggak bisa-bisa sih?"
Yang Harus Dikuasai Balita
Orang tua bisa melihat sejauh mana balitanya berani dan mandiri. Daftar di bawah ini bisa menjadi acuan. Bila ternyata si kecil belum menguasainya, coba teliti lagi, siapa tahu ada sesuatu yang harus segera "dibereskan".
Keberanian Kemandirian. Anak terlihat fleksibel dengan lingkungan barunya. Berani berkenalan dan memberi salam saat memasuki lingkungan baru.
Kelekatan dengan orang tua sudah berkurang. Ke mana-mana tidak minta ditemani. Ia sudah berani ke kamar mandi sendiri, tidur sendiri dan sebagainya.
Perkembangan motoriknya memungkinkannya berani berlatih sepeda roda 4.
Berani mencoba permainan seperti monkey trap, perosotan, loncat-loncatan dan sebagainya.
Berani bertanya secara kritis tentang hal-hal yang tidak sesuai dengan pikirannya. Misalnya "Kenapa sih mama harus kerja terus?"
Sudah bertanggung jawab terhadap aktivitas rutinnya, misalnya bangun tidur langsung mandi tanpa perlu rewel, saat mandi mau gosok gigi dengan teratur dan sebagainya.
Sudah tumbuh kesadaran mengenai waktu makan, tidur, minum susu, dan sebagainya. Setidaknya, ia tidak perlu menunjukkan kerewelan lagi sehubungan dengan aktivitas tersebut.
Perkembangan motorik memungkinkannya bisa memakai sepatu sendiri dan meletakkan kembali di tempatnya usai dipakai.
Bertanggung jawab terhadap mainannya dengan cara membereskannya setelah selesai digunakan dan mengembalikannya ke tempat semula. Setidaknya sudah muncul kesadaran untuk melakukannya sendiri meski masih ada pendampingan dari orang dewasa di sekitarnya.
Cermati Dampaknya
Bila si kecil dibiarkan saja tumbuh apa adanya, tanpa melalui proses pembelajaran untuk berani dan mandiri, ke depannya anak akan tumbuh menjadi pribadi yang penakut, cengeng dan emosinya kurang matang. Ingat, keberanian dan kemandirian tidak akan tumbuh dengan sendirinya, melainkan harus ada stimulus lingkungan. Bila stimulusnya tepat, hasilnya pastilah akan lebih maksimal.
Dalam jangka panjang dampak buruk yang mungkin timbul, si anak akan tumbuh jadi pribadi yang lembek, selalu bergantung pada orang lain, cenderung menghindari tugas dan tidak berani menghadapi tantangan. Lebih buruknya, bukan tidak mungkin si anak kelak akan mencari pasangan yang merupakan duplikasi orang tua supaya bisa "melindunginya" selamanya!
Ayah-Ibu Harus Seia-Sekata
Ada juga keadaan khusus dimana anak malah lebih mandiri dan berani kalau tidak ada orang tuanya. "Coba perhatikan, apakah memang seperti itu keadaannya? Kalau memang iya, orang tua harus segera aware," saran Rini. Sering karena terdorong rasa bersalah setelah seharian meninggalkan anak di rumah, orang tua jadi terlihat berlebihan dalam mengekspresikan rasa sayangnya pada anak. Misalnya kalau dengan pengasuhnya anak sudah bisa makan sendiri, ketika bertemu orang tuanya, anak malah minta disuapi lagi, dan orang tua pun menurutinya. Atau mungkin kalau dengan ayahnya, si kecil diijinkan untuk tidak membereskan mainannya setelah digunakan, sementara dengan ibunya tidak. "Inkonsistensi semacam itulah yang akhirnya merusak apa yang sedang dibangun. Ibarat masak makanan, bagaimana mungkin akan matang, kalau sebentar-sebentar apinya dikecilkan, lalu dibesarkan lagi, dan seterusnya. Kuncinya memang konsistensi sikap," tukasnya pula.
(Marfuah Panji Astuti)
Melatih daya tahan mental
Sejak lahir anak sudah dibekali dengan insting bereksplorasi. Sayangnya, sebagian orang tua justru "memagarinya". Padahal bila orang tua membiarkan anak bereksplorasi, selain jadi mandiri dan berani, daya tahan mentalnya pun lebih teruji.
Kiat Melatih Keberanian dan Kemandirian
Secara garis besar, latihan keberanian dan kemandirian bisa berjalan secara simultan. Langkah yang sama diharapkan bisa menghasilkan 2 hal positif itu sekaligus. Namun orang tua sebaiknya menyadari tidak ada sesuatu yang serba instan karena semuanya butuh proses. Apa saja yang harus dilakukan? Berikut di antaranya:
1. Tumbuhkan basic trust
Basic trust sebenarnya sudah terbentuk sejak bayi. Namun setelah balita pun, orang tua sebaiknya memberikan respons positif terhadap kebutuhan anak. Dengan begitu anak akan merasa secure/aman dalam kehidupannya. Anak yang merasa aman, pada gilirannya lebih berani mengadapi tantangan yang ada di depannya. Ia pun sekaligus lebih bisa mandiri dalam menyelesaikan persoalan.
2. Beri contoh konkret
Orang tua yang cenderung mempunyai kepribadian tertutup, enggan melakukan sesuatu yang serbabaru, ciut menghadapi tantangan, sebaiknya tidak mengharapkan anak balitanya tumbuh menjadi pribadi yang berani dan mandiri. Contoh yang paling gampang adalah orang tua yang ingin mengajari anaknya berenang, namun ia sendiri takut masuk air. Kalau begini mana mungkin hasilnya bisa maksimal? Ingat, anak butuh contoh lewat perbuatan nyata bagaimana seharusnya bersikap berani dan mandiri. Dengan demikian anak punya gambaran hingga lebih mudah menirunya. Bagi orang tua yang merasa tidak bisa memberikan contoh konkret pada balitanya, tentu saja tak perlu berkecil hati. Ada langkah-langkah yang bisa dilakukan, yaitu dengan tidak mentransfer "ketakutan" dan "ketidakmandirian"nya pada anak secara langsung di depan anak. Kalaupun itu muncul, mintalah orang lain dalam keluarga untuk mengingatkan Anda.
3. Tetapkan batasan secara tepat
Larangan yang diberikan pada anak haruslah disertai alasan yang logis. Saat anak mengasah keberaniannya dengan bermain di luar pagar rumah, sebaiknya orang tua tidak menakut-nakuti dengan hal-hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Semisal dengan mengatakan si anak akan digigit anjing, digoda hantu dan sebagainya. Ingat, pola pikir anak usia ini masih sangat konkret. Ketakutan yang sebenarnya tidak perlu itu akan ditangkap otaknya sebagai suatu kenyataan yang benar adanya. Akhirnya, anak jadi tidak berani keluar pagar sama sekali. Ini jelas menghambat pembentukan sikap berani dan mandiri dalam diri anak.
4. Beri kepercayaan pada anak
Berikan kepercayaan pada anak bila dirasa sudah sanggup melakukannya. Kalau anak ingin menaruh sendiri piring makannya sendiri di tempat cucian piring, jangan langsung melecehkannya. Berilah ia kepercayaan dan kesempatan untuk mencoba. Jangan kelewat khawatir si balita akan memecahkan piring tersebut hanya karena harganya mahal. Kepercayaan yang diperoleh anak akan membuat keberanian dan kemandiriannya kian teruji.
5. Jangan beri stimulus terlalu banyak
Ingat, tahapan yang dilalui anak berkembang setingkat demi setingkat. Untuk itulah perlunya pengertian dari lingkungan, terutama orang tua, bahwa stimulus yang diberikan pun hendaknya disesuaikan dengan perkembangan anak. Too much too soon stimulations, pada akhirnya hanya akan membuat anak bingung dan kehilangan keberaniannya melakukan sesuatu. Anak akan berpikir daripada melakukan semua hal yang diminta orang tua dan akhirnya salah karena terlalu banyak komando tapi kemudian dimarahi, lebih baik tidak usah melakukannya sama sekali. Sayang sekali, kan? Begitu juga dengan contoh sepihak yang ditangkap anak tanpa diluruskan oleh lingkungan. Misalnya anak mendapatkan pengetahuan tentang suatu hal dari televisi. Bisa jadi itu hanya film yang sudah pasti tidak sama dengan realitas. Namun karena anak tidak segera mendapatkan pemahaman yang sesungguhnya, maka dianggapnya hal itu sebagai sesuatu yang nyata. Apalagi di usia ini anak belum bisa membedakan mana kejadian nyata dan mana yang dikemas/direkayasa sebagai sebuah tontonan. Tayangan kekerasan, contohnya, bisa saja dipersepsikan bahwa dunia ini tidak aman seperti yang ia saksikan. Akibatnya, bukan tak mungkin akan menghambat perkembangan keberanian anak.
6. Jangan dipaksa
Keberanian dan kemandirian anak mungkin saja berkembang secara perlahan. Jadi, jangan paksa anak untuk segera menguasai semua hal yang diajarkan saat itu juga. Orang tua yang ingin melatih kemandirian anaknya dengan ritual bangun tidur langsung mandi, tanpa perlu "kejar-kejaran" dulu, contohnya. Sebaiknya jangan paksa anak untuk menguasainya dengan sekali mengajarkan lantas di hari-hari selanjutnya segalanya sudah berjalan lancar. Dampingi dan selalu ingatkan anak bagaimana melakukan hal tersebut dengan benar. Kelewat sering melontarkan kritik karena kegagalannya hanya akan membuat nyalinya ciut alias down. Contohnya, "Gimana sih, gitu aja enggak berani!" Atau, "Adek, kok enggak bisa-bisa sih?"
Yang Harus Dikuasai Balita
Orang tua bisa melihat sejauh mana balitanya berani dan mandiri. Daftar di bawah ini bisa menjadi acuan. Bila ternyata si kecil belum menguasainya, coba teliti lagi, siapa tahu ada sesuatu yang harus segera "dibereskan".
Keberanian Kemandirian. Anak terlihat fleksibel dengan lingkungan barunya. Berani berkenalan dan memberi salam saat memasuki lingkungan baru.
Kelekatan dengan orang tua sudah berkurang. Ke mana-mana tidak minta ditemani. Ia sudah berani ke kamar mandi sendiri, tidur sendiri dan sebagainya.
Perkembangan motoriknya memungkinkannya berani berlatih sepeda roda 4.
Berani mencoba permainan seperti monkey trap, perosotan, loncat-loncatan dan sebagainya.
Berani bertanya secara kritis tentang hal-hal yang tidak sesuai dengan pikirannya. Misalnya "Kenapa sih mama harus kerja terus?"
Sudah bertanggung jawab terhadap aktivitas rutinnya, misalnya bangun tidur langsung mandi tanpa perlu rewel, saat mandi mau gosok gigi dengan teratur dan sebagainya.
Sudah tumbuh kesadaran mengenai waktu makan, tidur, minum susu, dan sebagainya. Setidaknya, ia tidak perlu menunjukkan kerewelan lagi sehubungan dengan aktivitas tersebut.
Perkembangan motorik memungkinkannya bisa memakai sepatu sendiri dan meletakkan kembali di tempatnya usai dipakai.
Bertanggung jawab terhadap mainannya dengan cara membereskannya setelah selesai digunakan dan mengembalikannya ke tempat semula. Setidaknya sudah muncul kesadaran untuk melakukannya sendiri meski masih ada pendampingan dari orang dewasa di sekitarnya.
Cermati Dampaknya
Bila si kecil dibiarkan saja tumbuh apa adanya, tanpa melalui proses pembelajaran untuk berani dan mandiri, ke depannya anak akan tumbuh menjadi pribadi yang penakut, cengeng dan emosinya kurang matang. Ingat, keberanian dan kemandirian tidak akan tumbuh dengan sendirinya, melainkan harus ada stimulus lingkungan. Bila stimulusnya tepat, hasilnya pastilah akan lebih maksimal.
Dalam jangka panjang dampak buruk yang mungkin timbul, si anak akan tumbuh jadi pribadi yang lembek, selalu bergantung pada orang lain, cenderung menghindari tugas dan tidak berani menghadapi tantangan. Lebih buruknya, bukan tidak mungkin si anak kelak akan mencari pasangan yang merupakan duplikasi orang tua supaya bisa "melindunginya" selamanya!
Ayah-Ibu Harus Seia-Sekata
Ada juga keadaan khusus dimana anak malah lebih mandiri dan berani kalau tidak ada orang tuanya. "Coba perhatikan, apakah memang seperti itu keadaannya? Kalau memang iya, orang tua harus segera aware," saran Rini. Sering karena terdorong rasa bersalah setelah seharian meninggalkan anak di rumah, orang tua jadi terlihat berlebihan dalam mengekspresikan rasa sayangnya pada anak. Misalnya kalau dengan pengasuhnya anak sudah bisa makan sendiri, ketika bertemu orang tuanya, anak malah minta disuapi lagi, dan orang tua pun menurutinya. Atau mungkin kalau dengan ayahnya, si kecil diijinkan untuk tidak membereskan mainannya setelah digunakan, sementara dengan ibunya tidak. "Inkonsistensi semacam itulah yang akhirnya merusak apa yang sedang dibangun. Ibarat masak makanan, bagaimana mungkin akan matang, kalau sebentar-sebentar apinya dikecilkan, lalu dibesarkan lagi, dan seterusnya. Kuncinya memang konsistensi sikap," tukasnya pula.
(Marfuah Panji Astuti)