(Alfin Naharuddin)
Kebutuhan manusia untuk bersosialisasi adalah sebuah naluri alami dan merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi kebanyakan orang, dan berkumpul serta berinteraksi dengan golongan yang sepaham dan sependapat dengan pemikiran dan keyakinannnya adalah kecenderungannya [1].
Kini di era yang saling terhubung dengan dukungan dunia teknologi tanpa batas tidak berarti kecenderungan individu untuk berinteraksi dengan golongan yang hanya sepaham dan sependapat dengan dirinya menjadi pudar, malah yang terjadi adalah polarisasi ini menjadi semakin nyata[2][3].
Sebuah algoritma cerdas yang dibuat untuk mengenali, mencatat pola data, berkemampuan untuk mendefinisikan kecenderungan seorang user di internet[4] yang pada awalnya diperuntukkan sebagai alat mempermudah pengguna mendapatkan apa yang paling diinginkannya[5], baik itu di media sosial maupun keperluan komersial seperti penyajian iklan, kini menjadi boomerang yang dituduh bertanggung jawab atas fenomena Echo Chamber yang menjadikan individu-individu bagaikan katak dalam tempurung[6].
Dengan fenomena-fenomena yang terjadi sekarang, sebuah Filter Bubble[2] nampak semakin nyata, dari berbagai stereotip mulai dari keyakinan, politik hingga hobi[3] terlihat gamblang. Hal ini jelas terlihat di media sosial bagaimana seorang individu atau sebuah kelompok terkumpul dan dikelilingi dengan konten-konten yang mendukung apa yang menjadi perhatian dan kecenderungannya[3].
Sajian-sajian yang mereka dapatkan semakin memperkaya dan menguatkan keyakinannya dan dengan lingkungan yang terbentuk sedemikian rupa menjadikan sebuah Confirmation Bias menemukan logikanya dimana informasi dan fakta diluar pendapat dan nalarnya semakin tampak berbeda[7].
Algoritma-algoritma pemrograman yang mempersonalisasi pengguna ini bukan hanya menjadi kepentingan penyedia jasa mesin pencarian namun juga diterapkan oleh hampir semua penyedia konten internet baik itu media sosial maupun media-media penyaji berita[3], dan tentunya yang mempunyai peranan penting dalam pengarahan dan pemilihan user atas apa yang menjadi kecenderungannya adalah mesin pencari yang biasa digunakan.
II. Bagaimana Menyikapinya?
Sebelum teknologi internet dipergunakan secara masif seperti sekarang, industri media massa baik cetak maupun elektronik telah memberlakukan pengkhususan-pengkhususan dalam penyajian beritanya, hal ini bertujuan untuk membantu pelanggan mereka lebih mudah mendapatkan informasi sesuai bidang dan minatnya[8], dan kini ketika geliat teknologi merambah segala lini, metode-metode yang sebelumnya dilakukan oleh seorang pengarah berita dengan mudah dan agile kini diperankan oleh susunan-susunan algoritma pemrograman.
Menilik dari kelanjutan efek echo chamber tersebut, terbentang sebuah pertanyaan; apakah hal ini menjadikan dunia lebih baik atau sebaliknya malah memperburuk tatanan sosial yang pada dasarnya memang berbeda satu sama lain? Sayangnya hingga kini belum ada konsensus yang menetapkan “alat ukur” baik buruk yang bisa digunakan dan diterima oleh seluruh manusia di bumi.
Sudah menjadi kecenderungan manusia untuk berkelompok dengan sesama golongan yang mempunyai pemikiran dan ide yang sejalan, dan menjadi wajar jika setiap individu mencari konfirmasi-konfirmasi atas kebenaran yang diyakininya, dan kini dengan dukungan teknologi perilaku tersebut semakin menemukan jalannya, lalu apakah teknologi itu patut disalahkan?
Tentu kurang bijak jika menganalogikan segala hal yang kontradiktif dengan sebuah pisau bermata dua namun untuk menyikapi dan memperlakukan sebuah pisau yang bermata ganda tentunya seorang manusia dewasa dengan logika dan akal sehatnya mampu mengambil tindakan sesuai nalar yang berdiri di atas sebuah kesadaran akan adanya hal-hal baru dan masih luasnya semesta pengetahuan yang perlu digali.
Pada prakteknya “mekanisme algoritma” Echo Chamber distimulisasi oleh para pengguna masing-masing, user bebas memberi inputan apa saja yang diinginkannya hingga terbentuk Filter Bubble-nya sendiri namun seiring waktu jika user memasukkan suatu hal yang baru, makad dengan sendirinya, sesuai logika dasar algoritma tersebut, ruangan yang menggaungkan filter bubble itu semakin meluas[9].
Disamping itu bukankah detail-detail tersebut hanya terbatas pada lingkungan akun atau perangkat saja, sedangkan dunia luas masih terbentang nyata.
III. Kesimpulan
Algoritma personalisasi dan dampaknya memang nyata adanya namun sebagaimana fungsi sebuah alat yang pada dasarnya digunakan sebagai pendukung kemudahan dan kenyamanan dalam kehidupan manusia, maka alat tetaplah sebatas alat dimana manusia adalah tuannya. Namun pengetahuan tentang bagaimana suatu alat bantu bekerja dan bagaimana pengaruhnya harus dipahami dan terus menjadi kesadaran bagi setiap individu.
IV. Pustaka
[1] E. Goffman, “On Face-Work: An Analyis of Ritual Elements in Social Interaction,” Psychiatry, vol. 18, no. 3. pp. 222–247, 1955.
[2] Eli Pariser, The Filter Bubble: What The Internet Is Hiding From You. Google Buku, 2011.
[3] A. Mitchell and R. Weisel, “Political Polarization and Media Habits,” Pew Res. Cent., no. October, 2014.
[4] A. Gelman and J. Hill, “Data analysis using regression and multilevel/hierarchical models,” 2006.
[5] E. Colleoni, A. Rozza, and A. Arvidsson, “Echo chamber or public sphere? Predicting political orientation and measuring political homophily in twitter using big data,” J. Commun., vol. 64, no. 2005, pp. 317–332, 2014.
[6] S. R. Flaxman and J. M. Rao, “Filter Bubbles , Echo Chambers , and Online News Consumption,” Public Opin. Q., vol. 80, no. Special Issue, pp. 298–320, 2016.
[7] E. Jonas, S. Schulz-Hardt, D. Frey, and N. Thelen, “Confirmation bias in sequential information search after preliminary decisions: an expansion of dissonance theoretical research on selective exposure to information,” J. Pers. Soc. Psychol., vol. 80, no. 4, pp. 557–571, 2001.
[8] M. Prior, “News vs. Entertainment : Choice and Widens Turnout Gaps in Increasing Media Political Knowledge,” Am. J. Pol. Sci., vol. 49, no. 3, pp. 577–592, 2005.
[9] F. J. Zuiderveen Borgesius, D. Trilling, J. Möller, B. Bodó, C. H. de Vreese, and N. Helberger, “Should we worry about filter bubbles?,” Internet Policy Rev., vol. 5, no. 1, pp. 1–16, 2016.
Tugas Mata Kuliah Keamanan Sistem Informasi Dan Jaringan